Senin, 29 Juni 2009

MUSEUM MASJID AGUNG DEMAK

MUSEUM MASJID AGUNG DEMAK


MUSEUM MASJID AGUNG DEMAK Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa, didirikan Wali Sembilan atau Wali Songo. Lokasi Masjid berada di pusat kota Demak, berjarak + 26 km dari Kota Semarang, + 25 km dari Kabupaten Kudus, dan + 35 km dari Kabupaten Jepara.

Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak. Struktur bangunan masjid mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona dan berwibawa. Kini Masjid Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah.

Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, bertuliskan “Condro Sengkolo”, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.

Raden Fattah bersama Wali Songo mendirikan Masjid Maha karya abadi yang karismatik ini dengan memberi prasasti bergambar bulus. Ini merupakan Condro Sengkolo Memet, dengan arti Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri dari kepala yang berarti angka 1 ( satu ), kaki 4 berarti angka 4 ( empat ), badan bulus berarti angka 0 ( nol ), ekor bulus berarti angka 1 ( satu ). Bisa disimpulkan, Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.

Di museum ini utamanya disimpan bagian-bagian soko guru yang rusak (sokoguru Sunan Kalijaga, sokoguru Sunan Bonang, sokoguru Sunan Gunungjati, sokoguru Sunan Ampel), sirap, kentongan dan bedug peninggalan para wali, dua buah gentong (tempayan besar) dari Dinasti Ming hadiah dari Putri Campa abad XIV, pintu bledeg buatan Ki Ageng Selo yang merupakan condrosengkolo berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani yang berarti angka tahun 1388 Saka atau 1466 M atau 887 H, foto-foto Masjid Agung Demak tempo dulu, lampu-lampu dan peralatan rumah tangga dari kristal dan kaca hadiah dari PB I tahun 1710 M, kitab suci Al-Qur’an 30 juz tulisan tangan, maket masjid Demak tahun 1845 – 1864 M, beberapa prasasti kayu memuat angka tahun 1344 Saka, kayu tiang tatal buatan Sunan Kalijaga, lampu robyong masjid Demak yang dipakai tahun 1923 – 1936 M.


Kunjungan:
Museum ini buka tiap hari dari Senin hingga Minggu jam kerja (08.00-16.00) dengan mengisi kas untuk pemeliharaan koleksi secara sukarela. Tempat Di samping Masjid Agung Demak.

Koleksi antara lain :
Pintu bledeg buatan Ki Ageng Selo tahun 1466 M, dibuat dari kayu jati berukiran tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota, dan kepala binatang (naga?) dengan mulut terbuka menampakkan gigi-giginya yang runcing. Menurut cerita, kepala naga tersebut menggambarkan petir yang kemudian dapat ditangkap oleh Ki Ageng Selo.

PENINGGALAN KERAJAAN DEMAK YANG MASIH TERSIMPAN DI MUSEUM MASJID AGUNG MELIPUTI :

Soko Majapahit,
tiang ini berjumlah delapan buah terletak di serambi masjid. Benda purbakala hadiah dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi ini diberikan kepada Raden Fattah ketika menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro Demak 1475 M.

Pawestren,
merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Dibuat menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap ( genteng dari kayu ) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, di mana 4 diantaranya berhias ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran 15 x 7,30 m. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan motif ukiran Maksurah atau Kholwat yang menerakan tahun 1866 M.

Surya Majapahit,
merupakan gambar hiasan segi 8 yang sangat populer pada masa Majapahit. Para ahli purbakala menafsirkan gambar ini sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit di Masjid Agung Demak dibuat pada tahun 1401 tahun Saka, atau 1479 M.

Maksurah,
merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid. Artefak Maksurah didalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memulyakan ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M, di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat.

Pintu Bledeg,
pintu yang konon diyakini mampu menangkal petir ini merupakan ciptaan Ki Ageng Selo pada zaman Wali. Peninggalan ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.

Mihrab atau tempat pengimaman,
didalamnya terdapat hiasan gambar bulus yang merupakan prasasti “Condro Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti“Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M (hasil perumusan Ijtihad). Di depan Mihrab sebelah kanan terdapat mimbar untuk khotbah. Benda arkeolog ini dikenal dengan sebutan Dampar Kencono warisan dari Majapahit.

Dampar Kencana,
benda arkeologi ini merupakan peninggalan Majapahit abad XV, sebagai hadiah untuk Raden Fattah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke V Raden Kertabumi. Semenjak tahta Kasultanan Demak dipimpin Raden Trenggono 1521 – 1560 M, secara universal wilayah Nusantara menyatu dan masyhur, seolah mengulang kejayaan Patih Gajah Mada.

Soko Tatal / Soko Guru,
yang berjumlah 4 ini merupakan tiang utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga. Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi tata letak empat soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Yang berada di barat laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.

Situs Kolam Wudlu.
Situs ini dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak sebagai tempat untuk berwudlu. Hingga sekarang situs kolam ini masih berada di tempatnya meskipun sudah tidak dipergunakan lagi.

Menara,
bangunan sebagai tempat adzan ini didirikan dengan konstruksi baja. Pemilihan konstruksi baja sekaligus menjawab tuntutan modernisasi abad XX. Pembangunan menara diprakarsai para ulama, seperti KH.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak), R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar, dan H.Moechsin .
dan masih banyak lagi peninggalan-peninggalan bersejarah di lokasi dan museum Masjid Agung Demak.
Naiman Isca' ( BKM )

Jumat, 19 Juni 2009

PENGAJIAN AKBAR


KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi1


KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi

Assalamu'allaikum. Wr. Wb.

Diselenggarakannya Pengajian Akbar Istighotsah dipimpin oleh KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi. Insya Allah dengan pengajian Akbar, Bangsa Indonesia yg juga akan memilih Capres dan Cawapres berjalan dengan baik, aman dan mempunyai pemimpin yg adil dan merakyat.
Kab. Demak akan ada Pengajian Akbar yg akan di Selenggarakan pada
hari Minggu, 21 Juni 2009 jam 06:00 wib. Tempat di Alun-alun Demak.


KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi6

Wassalamu'allaikum. Wr. Wb.

Rabu, 17 Juni 2009

Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak


Demak - Adalah Seorang Raden Patah yang menjadi perintis kerajaan Islam di Jawa. Ia disebut-sebut sebagai putra Raja Majapahit Brawijaya V dengan putri asal Campa (kini Kamboja) yang telah masuk Islam. Masa kecilnya dihabiskan di Pesantren Ampel Denta -pesantren yang dikelola Sunan Ampel. Ibu Sunan Ampel (istri Maulana Malik Ibrahim) juga putri penguasa Campa ketika Majapahit melemah dan terjadi pertikaian internal, Raden Patah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit dan membangun Kesultanan Demak. Dalam konflik dengan Majapahit, ia dibantu Sunan Giri. Berdirilah Kesultanan Demak pada 1475 atau beberapa tahun setelah itu.

Kelahiran Demak tersebut mengakhiri masa Kerajaan Majapahit. Konon sebagian penganut Hindu kemudian hijrah ke Bali dan sebagian mengasingkan diri ke Tengger.

Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa pengganti Raden Patah adalah Pangeran Sabrang Lor. Dia yang menyerbu Portugis di Malaka pada 1511. Pangeran Sabrang Lor ini tampaknya adalah Dipati Unus menurut sumber Portugis. Pada 1524-1546, kekuasaan Demak dipegang oleh Sultan Trenggono yang dilantik oleh Sunan Gunung Jati -Sultan Cirebon yang juga salah seorang “walisongo”.

Dalam buku “Sejarah Ummat Islam Indonesia” yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia, Trenggono banyak membuat langkah besar. Pada masanya, Sunda Kelapa (kini Jakarta) digempur. Berbagai wilayah lain ditaklukkannya. Namun ia tewas dalam pertempuran menaklukkan Panarukan - Jawa Timur. Ia diganti adiknya, Sunan Prawoto, yang lemah. Banyak adipati memberontak. Prawoto dibunuh Adipati Jipang, Ario Penangsang.

Demak berakhir. Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya -menantu Trenggono-memindahkan kerajaan ke Pajang. Atas bantuan Senopati, anak Ki Ageng Pemanahan, Ario Penangsang dapat dikalahkan. Senopati dijadikan menantu Sultan. Begitu Adiwijaya wafat, dia mengambil alih kekuasaan dan memindahkannya ke Mataram.

Senopati berkuasa dengan tangan besi. Legenda rakyat menyebut ia membunuh menantunya sendiri, Ki Mangir, dengan menghantamkan kepala korban ke batu. Ia digantikan anaknya, Pangeran Seda ing Krapyak yang meninggal pada 1613. Pemerintahan dilanjutkan oleh anak Seda ing Krapyak, Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung (1613-1645).

Sultan Agung memegang erat kekuasaan dengan gaya yang anggun. Wilayah demi wilayah ditaklukkannya untuk tunduk ke Mataram. Adipati Ukur di Sumedang diserangnya. Panembahan Kawis Gua -pelanjut Sunan Giri- berhasil dibekuk dan ditawan di Mataram. Blambangan digempur.

Kesultanan Cirebon diikatnya dengan perkawinan. Putri Sultan Agung menikah dengan Pangeran Cirebon. Adipati Surabaya yang memberontak dikalahkannya, lalu Pangeran Pekik, putra adipati itu diambilnya sebagai menantu.

Ia juga mengirim utusan ke Mekah, menggunakan kapal Inggris, untuk memperoleh gelar Sultan. Tahun 1641, gelar itu diperolehnya. Jadilah Mataram bukan hanya pusat kekuasaan namun juga pusat Islam di Jawa. Sultan Agung mengubah penanggalan Jawa dari Tahun Saka menjadi Tahun Hijriah. Ia juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis ‘Babad Tanah Jawi’.

Setelah era Demak, Sultan Agung adalah satu-satunya kekuasaan yang berani menggempur asing. Pada 1618, VOC Belanda bertikai dengan Jepara yang berada di pihak Mataram. Pada 1628 dan 1629, Sultan Agung dua kali menyerang markas VOC di Batavia. Upayanya gagal setelah gudang persediaan makanannya dibakar Belanda.

Pada Februari 1646, Sultan Agung wafat. Ia dimakamkan di puncak bukit imogiri /daerah wonosari jogya, komplek pemakaman yang dibangunnya pada 1631,dan sekarang menjadi komplek pemakaman raja raja tarh Mataram dari Solo dan Jogyakarta

Sang anak, Amangkurat II, seorang ambisius. Ia ingin sesegera mungkin naik tahta menganti ayahnya. Ia bersama seorang Madura, Trunojoyo, untuk memberontak. Trunojoyo menguasai kerajaan. Pada 1677 itu, di saat rakyat tertimpa musibah kelaparan hebat, Amangkurat I terlunta-lunta mengungsi hingga meninggal di daerah Tegal. Sejak Amangkurat I,nampaknya kekuasaan di Jawa sepenuhnya dalam pengaruh pihak Belanda.

Amangkurat II kemudian berkoalisi dengan Belanda untuk mengalahkan Trunojoyo. Bahkan Amangkurat II menikam sendiri perut sahabat dekatnya tersebut. Amangkurat II ini yang menurunkan Dinasti Pakubuwono di Solo dan Hamengkubuwono di Yogya. Dari Pakubuwono kemudian pecah Dinasti Mangkubumi. Sedangkan dari Hamengkubuwono lahir Dinasti Paku Alam.

Masjid Agung Demak

Menurut legenda, masjid ini didirikan oleh Wali Songo secara bersama-sama dalam tempo satu malam. Babad Demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala “Lawang Trus Gunaningjanmi”, sedang pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri tahun 1479.

Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.

Dalam proses pembangunannya, Sunan Kalijaga memegang peranan yang amat penting. Wali inilah yang berjasa membetulkan arah kiblat. Menurut riwayat, Sunan Kalijaga juga memperoleh wasiat antakusuma, yaitu sebuah bungkusan yang konon berisi baju “hadiah” dari Nabi Muhammad SAW, yang jatuh dari langit di hadapan para wali yang sedang bermusyawarah di dalam masjid itu.

Memasuki pertengahan abad XVII, ketika kerajaan Mataram berdiri, pemberontakan pun juga mewarnai perjalanan sejarah kekuasaan raja Mataram waktu itu.

Sejarah yang sama juga melanda kerajaan Demak. Kekuasaan baru yang berasal dari masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam disekitar tahun 1500 bernama raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro dan berkedudukan di Demak, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Demak.

Namun keberadaan kerajaan Demak tak pernah sepi dari rongrongan pemberontakan. Dimasa pemerintahan raja Trenggono, walau berhasil menalukkan Mataram dan Singhasari. Tapi perlawanan perang dan pemberontakan tetap terjadi di beberapa daerah yang memiliki basis kuat keyakinan Hindu. Sehingga, daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu. Di tahun 1548, raja Trenggono wafat akibat perang dengan Pasuruan.

Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang.

Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan yang datangnya dari kadipaten-kadipaten. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya melakukan pemberontakan dalam bentuk gerakan melawan Arya Panangsang. Salah satu dari adipati yang memberontak itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono yang masih ada hubungan darah dengan sang raja.

Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.


JAWA, ISLAM DAN WALISONGO

RADEN FATAH DAN WALISONGO

Di paruh awal abad ke 16, Jawa dalam genggaman Islam. Penduduk merasa tenteram dan damai dalam ayoman Kesultanan Demak di bawah kepemimpinan Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah atau Raden Patah. Hidup mereka menemukan pedoman dan tujuan sejatinya, setelah mengakhiri masa Syiwa-Budha serta animisme. Mereka pun memiliki kepastian hidup, bukan karena wibawa dan perbawa Sang Sultan. Kepastian hidup ada karena disangga daulat hukum. Dan kepastian daulat hukum Kesultanan Demak Bintoro kala itu, berpijak pada syariah Islam.

“Salokantara” dan “Jugul Muda”. Itulah dua kitab Undang-undang Demak yang menurut budayawan WS Rendra dalam sebuah orasi budaya “Megatruh”, punya landasan syariah Islam. Di hadapan peraturan negeri pengganti Majapahit itu, semua manusia sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia. Sultan-sultan Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para wali. Rakyat bukanlah abdi atau kawula sebagaimana di masa berikutnya, rezim Mataram. Sejak abad ke-17, rakyat kembali menjadi abdi, sebab kekuasaan begitu sentralistik. Malah, para raja rela ber-sembah sungkem kepada penjajah londo. Dan, syariat Islam pun hanya dijalankan setengah-setengah hingga kini, ketika para “penguasa” Jawa memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sayang memang, Demak hanya bertahan sampai umur 65 tahun. Keberadaannya sebagai kerajaan dengan dasar Islam telah tercatat dalam sejarah. Dipegang-teguhnya syariat Islam sebagai pedoman hidup seluruh isi negeri Demak tak lepas dari perjuangan para ulama. Bahkan, dalam pengelolaan kesultanan, para ulama itu berperan sebagai tim kabinet (kayanakan) sultan. Para ulama itulah yang tiga abad kemudian dikenal dengan sebutan Walisanga, wali sembilan.

Nama Walisanga begitu dekat dengan umat Islam, khususnya di Jawa. Ia menjelma dalam hikayat di alam pikiran orang kebanyakan. Berbagai karya dalam bentuk tulisan, gambar, bahkan film berusaha menghidupkannya kembali. Tak ayal lagi, anak sekolah dasar pun begitu hapal sembilan tokoh dan kisah Walisanga. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (1), Sunan Ampel (2), Sunan Giri (3), Sunan Bonang (4), Sunan Kalijaga (5), Sunan Gunung Jati (6), Sunan Kudus (7), Sunan Muria (8) serta Sunan Derajat (9). Akan tetapi, menurut Kitab Walisana karya Sunan Giri II (Anak Sunan Giri), jumlah mereka bukan sembilan orang, tapi delapan orang. Sumber kuno tersebut memuat ihwal kehidupan para ulama penyebar Islam di Jawa dan kiprah dakwahnya. Nama Walisana yang menjadi nama judul kitab tersebut tidak mengacu bilangan sembilan. Dikatakan juga, selain delapan wali tersebut terdapat ribuan wali lainnya.

Walisanga ditulis dalam Serat Walisanga karya pujangga Mataram RM Ng Ranggawarsita pada abad 19 sebagai walisanga, wali sembilan. Kemudian muncul pelurusan, atau lebih tepatnya penafsiran ulang. Sebagian berpendapat, kata sanga (baca: songo) merupakan perubahan dari kata tsana (mulia, Arab). Maka, walisana berarti wali-wali mulia atau terpuji. Yang lainnya melihat kata sana diambil dari bahasa Jawa kuno yang berarti tempat. Karenanya, walisana berarti wali atau kepala suatu tempat atau daerah. Namun kebanyakan pakar sepakat, bahwa Walisanga merupakan kumpulan ulama dengan dakwah yang bertujuan menegakkan agama Allah.

Walisanga dalam berbagai tulisan acapkali diidentikan sebagai para sufi pengembang ajaran tasawuf semata. Bahkan, babad-babad yang lahir di masa Mataram banyak melukiskan Walisanga adalah para tokoh keramat dan digdaya. Hingga wafat sekalipun, mereka tetap menjadi sumber berkah. Namun, jika menengok karya-karya, ajaran, dan kinerja dakwahnya, kumpulan wali (selanjutnya disebut ulama) itu menebarkan syariat Islam dalam berbagai segi kehidupan. Kesultanan Islam Demak Bintoro beserta perangkat konstitusinya bisa dikatakan sebagai puncak karya dan pengabdian mereka. Semua itu hasil perjuangan berpuluh-puluh tahun para ulama dalam mendakwahkan syariat Islam di wilayah kerajaan Majapahit yang sudah rapuh.

Isyarat kuat bahwa mereka penyebar syariat bisa ditengok dari Primbon karya Sunan Bonang. Ajaran Bonang bisa mewakili watak dakwah Walisanga. Dari kitab itu bisa ditetapkan, Walisanga termasuk dalam aliran Ahlus Sunnah yang tegas dan konsekuen menentang bid’ah dan dhalalah (sesat). Ajaran Bonang menolak konsep emanasi, panteisme atau wihdatul wujud yang berintikan kesatuan Khalik dan hambanya. Mereka juga penganut tasawuf sunni-nya al-Ghazali dan Abu Syalimi, yang menyelaraskan fiqh syara’ dengan tasawuf. Alasan mereka, kalau orang belajar tasawuf tanpa dimulai dari fiqh, besar kemungkinan ia akan menjadi zindiq (inkar), mendekati Allah dengan meninggalkan syariat. Al-Ghazali dengan Ihya Ulumudin-nya memang menjadi acuan pengembangan tasawuf di masa itu. Adapun tasawuf ekstrem di masa Walisanga tak mendapat tempat. Terlepas dari kebenaran sejarah, Walisanga telah membuktikan komitmennya pada tauhid dan syariah Islam dengan kisah diqishasnya Syekh Siti Jenar. Ia dihukum karena dianggap telah mengembangkan ajaran manunggaling kawula-gusti (wihdatul wujud) yang meresahkan masyarakat di saat para ulama mempersiapkan berdirinya Kesultanan Demak. Para wali menghukumnya setelah melalui musyawarah dan memiliki lembaga pengadilan.

Dalam mempersiapkan lembaga-lembaga negara, para ulama melakukan pembagian tugas. Masing-masing ulama bertugas merumuskan aturan penyelenggaraan negara sesuai syariat Islam. Sunan Ampel dan Sunan Giri didukung lembaga penyokongnya menyiapkan aturan soal perdata, adat-istiadat, pernikahan dan muamalah lainnya. Dibantu pemuda Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), mereka menyiapkan aturan jinayat dan siyasah (kriminal dan politik). Di dalamnya terkandung hukum untuk imamah, qishas, ta’dzir termasuk perkara zina dan aniaya, jihad, perburuhan, perbudakan, makanan sampai masalah bid’ah.

Jauh sebelum Kesultanan Demak betul-betul siap didirikan, para ulama telah mempersiapkan masyarakat dengan dakwah. Tidak saja mumpuni dalam berdakwah, Walisanga menunjukkan keahlian politik, sosial dan budaya yang baik. Jika dikilas balik, berikut gambaran sepak terjang Walisanga yang terkait erat dengan dinamika Kerajaan Majapahit.

Sekitar 1445 M, Raden Rahmatullah atau sunan Ampel dari Campa bersama dua saudaranya, Ali Murtadlo dan Abu Hurairah datang ke Jawa. Raja Majapahit, Sri Kertawijaya dan istrinya, Dwarawati yang juga bibi Rahmat menyambutnya selayaknya keluarga keraton. Lalu, Sang raja berkenan menghadiahkan tanah perdikan kepada Rahmat di Ampel Denta. Di sanalah, Rahmat mengembangkan pesantren dan pusat keilmuan untuk pembinaan budi bangsawan dan rakyat Majapahit yang sedang merosot. Konsep lembaga warisan Maulana Malik Ibrahim itupun kemudian menghasilkan kader-kader dakwah yang handal. Dalam waktu singkat, Rahmat bisa mengembangkan basis-basis Islam di beberapa kadipaten.

Beberapa tahun kemudian, Sri Kertawijaya dikudeta oleh Rajasawardhana sebagai raja. Perkembangan Islam tak disukai raja baru itu. Rahmatpun menyusun strategi baru dengan menyebar para ulama ke delapan titik. Kala itu Majapahit tinggal tersisa sembilan kadipaten. Tim dakwah yang delapan itu dinamakannya “Bhayangkare Ishlah”. Mereka adalah Sunan Ampel sendiri, Raden Ali Murtadho, Abu Hurairah, Syekh Yakub, Maulana Abdullah, Kiai Banh Tong, Khalif Husayn dan Usman Haji. Kader santri pun giliran menggantikan beberapa posisi ulama. Di antara mereka adalah Raden Hasan yang kelak menjadi Sultan Demak.

Dalam sebuah versi, dewan Walisanga dibentuk sekitar 1474 M oleh Raden Rahmat membawahi Raden Hasan, Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Qosim (Sunan Drajad), Usman Haji (ayah Sunan Kudus), Raden Ainul Yaqin (Sunan Gresik), Syekh Suta Maharaja, Raden Hamzah dan Raden Mahmud. Beberapa tahun kemudian, Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di dalamnya. Sunan Kalijaga dipercaya para wali sebagai mubalig keliling. Di samping wali-wali tersebut, masih banyak ulama yang dakwahnya satu koordinasi dengan Sunan Ampel yang bertugas sebagai seorang mufti tanah Jawi. Hanya saja, sembilan tokoh Walisanga yang dikenal selama ini memang memiliki peran dan karya menonjol dalam dakwah maupun dalam proses ketatanegaraan Demak. Berikut lima wali di antaranya.

Maulana Malik Ibrahim.
Ia dianggap pelopor penyebaran Islam para wali di Jawa. Memulai dari desa Leran Gresik, ia bergumul dengan rakyat kecil sebagai petani. Keahlian bercocok tanam membuat rakyat sekitar tertarik untuk berguru tani. Ia juga dipercaya ahli tata negara yang dikagumi kalangan bangsawan. Ibrahim pula yang dikenal sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren.

Raden Ali Rahmatullah
Alias Sunan Ampel. Sang mufti dari negeri Campa ini mengajarkan Islam secara lurus. Dalam mengajarkan Islam, ia tak kenal kompromi dengan budaya lokal. Istilah pesantren dan santri diyakini pertama kali digunakan oleh Sunan Ampel. Wejangan terkenalnya mo limo yang intinya menolak mencuri, mabuk, main wanita, judi dan madat, yang marak di masa Majapahit.

Raden Ainul Yaqin
Atau Raden Paku atau Sunan Giri. Ia anak Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Ia diyakini sebagai tokoh fakih dan menguasai ilmu falak (perbintangan). Di masa menjelang keruntuhan Majapahit, Paku dipercaya sebagai raja peralihan sebelum Raden Fatah naik menjadi Sultan Demak. Ia diberi gelar Prabu Satmata, Ratu Tunggul Kalifatullah Mukminin. Ketika Sunan Ampel wafat, Sunan Giri menggantikannya sebagai mufti tanah Jawa. Pesantren Giri hingga di masa Mataram menjadi Giri Kedaton yang selalu diminta untuk merestui raja-raja di sebagian wilayah Nusantara. Catatan Portugis dan Belanda di Ambon menyebut, Sunan Giri (dan pelanjutnya) sama dengan Paus di Roma yang memberkati para kepala negeri sebelum naik takhta. Termasuk di dalamnya para sultan Islam di Maluku, Hitu dan Ternate. Dengan demikian, Giri merupakan wujud lembaga kekuasaan tersendiri, meski lebih sebagai lembaga berwenang dalam soal keagamaan saja.

Raden Makhdum Ibrahim
Atau Sunan Bonang. Ia putra sulung Sunan Ampel yang karya-karya tertulisnya terdokumentasikan hingga kini. Di antaranya Suluk Bonang, Primbon I dan Primbon II. Dari tulisan-tulisan Bonang, bisa dibaca watak dakwah para wali, sekaligus pedoman fikih umat Islam.

Raden Syahid
Atau Sunan Kalijaga. Ia tercatat paling banyak menghasilkan karya seni berfalsafah Islam seperti tembang-tembang macapat (wali lain juga turut mencipta), baju takwa, tata kota Islami, serta gong Sekaten (Syahadat ain) di Solo dan Yogya. Ia membuat wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan Giri sempat menentangnya. Karena, wayang beber kala itu menggambarkan gambar manusia utuh yang tak sesuai ajaran Islam. Kalijaga mengkreasi wayang kulit yang bentuknya jauh dari bentuk manusia utuh. Ini adalah sebuah usaha ijtihad di bidang fiqh yang dilakukan Sunan Kalijaga dalam upaya dakwahnya.

Syarif Hidayatullah
Atau Sunan Gunung Jati. Nama ini acapkali dirancukan dengan Fatahillah, yang menantunya sendiri. Ia memiliki kesultanan sendiri di Cirebon yang wilayahnya sampai Banten. Ia adalah salah satu pembuat soko guru Masjid Demak selain Sunan Ampel, Kalijaga dan Bonang. Keberadaan Syarif berikut kesultanannya membuktikan ada tiga kekuasaan Islam yang hidup bersamaan kala itu, Demak, Giri dan Cirebon. Hanya saja, Demak dijadikan pusat dakwah, pusat studi Islam sekaligus kontrol politik para wali.n (Hery D. Kurniawan/Sabili)

SEJARAH DEMAK

SEJARAH DEMAK

Kurang lebih 6 (enam) abad silam, berdasarkan letak geografisnya, kawasan yang bernama Demak ternyata tidak terletak di pedalaman yang jaraknya lebih kurang 30 km daribibir laut Jawa seperti sekarang ini. Kawasan tersebut pada waktu itu berada di dekat Sungai Tuntang yang sumbernya berasal dari Rawa Pening.

Geografi kesejarahan mengenai kawasan Demak dapat pula dibaca di buku Dames, yang berjudul “The Soil of East Central Java” (1955). Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Demak dahulu terletak di tepi laut, atau lebih tepatnya berada di tepi Selat Silugangga yang memisahkan Pulau Muria dengan Jawa Tengah.

Mengenai ekologi Demak, DR.H.J. De Graaf juga menulis bahwa letak Demak cukup menguntungkan bagi kegiatan perdagangan maupun pertanian. Hal ini disebabkan karena selat yang ada di depannya cukup lebar sehingga perahu dari Semarang yang akan menuju Rembang dapat berlayar dengan bebas melalui Demak. Namun setelah abad XVII Selat Muria tidak dapat dipakai lagi sepanjang tahun karena pendangkalan.

Tanggal 28 Maret 1503 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Demak. Hal ini merujuk pada peristiwa penobatan Raden Patah menjadi Sultan Bintoro yang jatuh pada tanggal 12 Rabiulawal atau 12 Mulud Tahun 1425 Saka (dikonversikan menjadi 28 Maret 1503).

Dalam Babat Tanah Jawi, tempat yang bernama Demak berawal dari Raden Patah diperintahkan oleh gurunya (Sunan Ampel) agar merantau ke Barat dan bermukim di sebuah tempat yang terlindung hutan/tanaman Gelagah Wangi letaknya berada di Muara Sungai Tuntang yang sumbernya berada di lereng Gunung Merbabu (Rawa Pening).

Menurut Prof. Soetjipto Wirjosoeprapto, setelah hutan Gelagah Wangi ditebang dan didirikan tetrukan (pemukiman), baru muncul nama Bintoro yang berasal dari kata bethoro (bukit suci bagi penganut agama hindu). Pada kawasan yang berada di sekitar muara Sungai Tuntang, bukit sucinya adalah Gunung Bethoro (Prawoto) yang sekarang masuk daerah Kabupaten Pati.

Menurut beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama bintoro diambil dari nama pohon Bintoro yang dulu banyak tumbuh di sekitar hutan Gelagah Wangi. Ciri-ciri pohon Bintoro mulai dari batang, daun dan bunganya mirip dengan pohon kamboja (apocynaceae), hanya saja buahnya agak menonjol seperti buah apel.

Ada beberapa pendapat mengenai asal nama kota Demak, diantaranya :
  • Prof.DR. Hamka menafsirkan kata Demak berasal dari bahasa Arab “dama” yang artinya mata air. Selanjutnya penulis Sholihin Salam juga menjelaskan bahwa Demak berasal dari bahasa Arab diambil dari kata “dzimaa in” yang berarti sesuatu yang mengandung air (rawa-rawa). Suatu kenyataan bahwa daerah Demak memang banyak mengandung air; Karena banyaknya rawa dan tanah payau sehingga banyak tebat (kolam) atau sebangsa telaga tempat air tertampung. Catatan : kata delamak dari bahasa Sansekerta berarti rawa.
  • Menurut Prof. Slamet Mulyono, Demak berasal dari bahasa Jawa Kuno “damak”, yang berarti anugerah. Bumi Bintoro saat itu oleh Prabu Kertabhumi Brawijaya V dianugerahkan kepada putranya R. Patah atas bumi bekas hutan Gelagah Wangi. Dasar etimologisnya adalah Kitab Kekawin Ramayana yang berbunyi “Wineh Demak Kapwo Yotho Karamanyo”.
  • Berasal dari bahasa Arab “dummu” yang berarti air mata. Hal ini diibaratkan sebagai kesusahpayahan para muslim dan mubaligh dalam menyiarkan dan mengembangkan agama islam saat itu. Sehingga para mubaligh dan juru dakwah harus banyak prihatin, tekun dan selalu menangis (munajat) kepada Allah SWT memohon pertolongan dan perlindungan serta kekuatan.
Demak merupakan Kasultanan ketiga di Nusantara atau keempat di Asia Tenggara. Ibukotanya Demak yang sekaligus digunakan sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyebaran agama Islam yang diprakarsai oleh para Wali (Wali Songo).

Ketika orang Portugis datang ke Nusantara, Majapahit yang agung sudah tidak ada lagi. Menurut catatan pada tahun 1515 Kasultanan Bintoro sudah memiliki wilayah yang luas dari kawasan induknya ke barat hingga Cirebon. Pengaruh Demak terus meluas hingga meliputi Aceh yang dipelopori oleh Syeh Maulana Ishak (Ayah Sunan Giri). Kemudian Palembang, Jambi, Bangka yang dipelopori Adipati Aryo Damar (Ayah Tiri Raden Patah) yang berkedudukan di Palembang; dan beberapa daerah di Kalimantan Selatan, Kotawaringin (Kalimantan Tengah). Menurut hikayat Banjar diceritakan bahwa masyarakat Banjar dulu yang meng-islam-kan adalah penghulu Demak (Bintoro) dan yang pertama kali di-islam-kan adalah Pangeran Natas Angin yang kelak dimakamkan di Komplek Pemakaman Masjid Agung Demak. Di daerah Nusa Tenggara Barat perkembangan agama Islam dipelopori oleh Ki Ageng Prapen dan Syayid Ali Murtoko, adik kandung Sunan Ampel yang berkedudukan di Bima.

Pada masa Kasultanan Demak diperintah oleh Sultan Trenggono, wilayah nusantara benar-benar dapat dipersatukan kembali. Terlebih lagi dengan adanya Fatahillah, Putera Mahkota Sultan Samodera Pasai yang menjadi menantu Raden Patah. Dialah yang berhasil mengusir orang-orang Portugis dari kota Banten dan berhasil menyatukan kerajaan Pasundan yang sudah rapuh. Dengan demikian seluruh pantai utara Jawa Barat sampai Panarukan Jawa Timur (1525-1526) dikuasai oleh Kasultanan Bintoro. Sementara itu Kediri takluk pada tahun 1527 yang berturut-turut kemudian diikuti oleh kawasan yang ada di pedalaman. Sampai akhirnya Blambangan yang letaknya berada di pojok tenggara Jawa Timur menyerah tahun 1546. Disinilah Sultan Trenggono gugur di medan pertempuran ketika berhadapan dengan Prabu Udoro (Brawijaya VII).